Lembaga Koordinasi Wilayah di Indonesia memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang, yaitu dimulai dari ketika Indonesia masih menjadi daerah jajahan Belanda dengan nama Hindia Belanda. Pada masa itu, sistem pemerintahan bersifat sentralistis, urusan-urusan Pemerintahan Pusat maupun urusan Pemerintahan Daerah sampai sekecil-kecilnya diselenggarakan oleh Pemerintahan Pusat, ditangan Gouverneur Generaal.
Pada masa tersebut tugas koordinasi wilayah dipegang oleh Resident sebagai pejabat pusat yang juga merupakan Kepala Wilayah Pemerintahan Karesidenan. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pengawas, Resident memperoleh delegasi wewenang dari Pemerintah Pusat. Resident bertanggung jawab atas kelancaran segala kegiatan di bidang Pemerintahan yang ada di wilayahnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1922 Pemerintah Belanda mengeluarkan perubahan susunan pemerintahan, yang dikenal dengan sebutan Bestuurshervorming Wety (1922). Perubahan tersebut mengatakan bahwa kedudukan Resident berubah menjadi Kepala Pemerintahan wilayah mewakili Gouverneur. Resident harus melaksanakan perintah Gouverneur dan berkewajiban mengawasi aparat Kabupaten serta mengawasi jalannya Pemerintahan dalam wilayahnya. Jabatan Gouverneur dan Resident hanya dipegang oleh bangsa Belanda dan jabatan lainnya yaitu Asisten Resident sampai Aspirant Controleur dijabat oleh bangsa Indonesia (Pribumi).
Pada masa Pemerintahan pendudukan Jepang (1942-1945) fungsi, peranan, dan wewenang Resident dikembalikan penuh seperti pada keadaan pada tahun 1854, yaitu sebagai Kepala Wilayah Karesidenan Kepresidenan (Syuu) yang dijabat oleh Syuu Cokan juga dari bangsa Jepang, dimana administrasi pemerintahan oleh wilayah Jawa dan Madura terbagi atas 17 Syuu yang mempunyai tugas menjalankan Undang-Undang, mengurus dan mengawasi pemerintahan dibawah Karesidenan.
Setelah itu, pada awal masa Pemerintahan Republik Indonesia, Resident merupakan organ Pemerintahan Pusat yang mempunyai hak dan kewajiban cukup banyak yang dasarnya adalah Undang-Undang (Ordonantie). Resident adalah Pamong Praja yang ditugaskan sebagai wakil Pemerintah Pusat di suatu daerah Pemerintahan.
Selanjutnya dengan keluarnya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 tugas Koordinator Wilayah Provinsi dibebankan kepada Pembantu Gubernur. Pada Tingkat Provinsi Jawa Timur dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 640 Tahun 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 1988 dan Pelaksanaan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 tahun 1978.
Sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1978, pembantu Gubernur merupakan Pejabat Pemerintahan Pusat dalam rangka dekonsentrasi dan bertugas membantu Gubernur dalam mengkoordinasikan, mengawasi dan membina penyelenggaraan Pemerintahan Umum dan Pembangunan yang dilaksanakan oleh Bupati / Walikotamadya KDH Tingkat II dalam wilayah kerjanya. Khususnya dalam penyelenggaraan koordinasi Pembantu Gubernur diberikan kewenangan yang cukup besar oleh Gubernur untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang menyangkut lintas Kabupaten/Kota melalui Keputusan Gubernur Nomor 640 tahun 1988.
Bergulirnya reformasi membawa konsekuensi terhadap perubahan tata pemerintahan di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus lembaga pembantu dalam tata pemerintahan di Indonesia. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Otonomi Provinsi adalah Otonomi terbatas, sedangkan otonomi yang luas yang utuh pada daerah Kabupaten/Kota. Pada dasarnya tugas-tugas yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi meliputi tugas
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan) yaitu :
- Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota.
- Kewenangan dalam bidang Pemerintahan tertentu dan dalam rangka koordinasi,pengawasan, pembinaan dan pengendalian.
- Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah Kabupaten/Kota.
- Kewenangan di sebagian wilayah laut.
- Kewenangan pembinaan sumber daya nasional/sumber daya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
Selain tugas-tugas diatas, Pemerintah Provinsi juga diberi amanat untuk menjadi fasilitator terjadinya Otonomi luas dan utuh di Kabupaten/Kota agar cepat mandiri, serta sebagai perekat dan penyerasi hubungan Pemerintahan dengan daerah Kabupaten/Kota dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengingat beratnya beban tugas Gubernur, maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur membentuk Lembaga Bakorwil, salah satunya adalah Bakorwil III di Kota Malang dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Wilayah Provinsi Jawa Timur. Pembentukan lembaga ini sesuai dengan pasal 65 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, dimana ditegaskan bahwa di daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai kebutuhan daerah. Pertimbangan lain yang melatar belakangi dibentuknya Badan Koordinasi Wilayah yaitu :
- Perlunya rentang kendali mengingat Provinsi Jawa Timur terdiri dari 38 (tiga puluh delapan) Kabupaten/Kota dengan kondisi geografis, dan sosialisasi budaya yang berbeda.
- Terbatasnya sumber daya alam pada semua Kabupaten/Kota dan adanya kewenangan yang belum/ tidak dapat dilaksanakan memungkinkan daerah melakukan kerja sama pada akhirnya dapat pula terjadi perselisihan antar daerah. Oleh karena itu Gubernur sebagai wakil pemerintahan harus memfasilitasinya.
- Pelayanan masyarakat yang kurang optimal, karena belum memenuhi pada Standart Pelayanan Minimal (SPM) dimungkinkan timbulnya keluhan dari masyarakat, sehingga harus didorong.
Adapun regulasi yang menjadi landasan hukum oleh Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan III Jawa Timur di Malang adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Provinsi Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 134 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Provinsi Jawa Timur.